Sabtu, 02 Februari 2013

GANAPATI, SANG JURU TULIS

ganesha, juru tulis kitab Mahabharata.
Ganesha / Ganapati
Begawan Wiyasa, pengarang kitab Weda yang masyur itu, adalah anak resi Parasana. Wiyasalah yang memberikan epos besar Mahabharata pada dunia.
Setelah merumuskan Mahabharata, Begawan Wiyasa memikirkan cara untuk menyampaikan kisah suci ini pada dunia. Ia berdoa kepada Dewa Brahma, Dewa pencipta. Dewa Brahma segera muncul di hadapannya. Ia memberikan salam hormat dengan menundukkan kepala, menyembah, dan mengajukan permohonan :
“Dewa, saya telah menyelesaikan sebuah karya yang sangat baik, tapi tidak dapat menemukan orang yang dapat menuliskannya sementara saya mendiktekan cerita ini.”
Dewa Brahma memuji Wiyasa dan berkata ; “Resi Wiyasa, undang dan mintalah Ganapati untuk membantumu menuliskan cerita ini.” Setelah itu, dewa Brahma menghilang. Wiyasa bersemadi mengundang Ganapati, yang segera muncul di hadapannya. Wiyasa menyambutnya dengan hormat dan meminta bantuan Ganapati.
“Wahai Ganapati, saya akan mendiktekan kisah Mahabharata dan saya mohon Anda berkenan menuliskannya.”
Ganapati menjawab : “Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi, dengan satu syarat, yakni, penakau tidak boleh berhenti saat aku sedang menuliskannya. Sehingga, kau harus mendikte tanpa jeda atau keraguan. Aku hanya dapat menulis dengan syarat ini.”
Wiyasa setuju, namun ia juga mengajukan syarat balasan : “Baiklah, tapi Anda harus memahami dulu makna apa yang saya diktekan sebelum menuliskannya.”
Ganapati tersenyum dan menyetujui syarat itu.
Kemudian sang resi pun mulai mendaraskan kisah Mahabharata. Sekali dua kali ia menyusun beberapa bait kompleks yang memaksa Ganapati berhenti sejenak untuk memahami maknanya dan wiyasa menggunakan kesempatan itu untuk menyusun bait-bait di benaknya. Begitulah Ganapati menuliskan kisah Mahabharata dengan didikte Wiyasa.
Dan itulah yang terjadi sebelum ada percetakan. Ingatan orang yang telah mempelajari suatu kisah menjadi satu-satunya “ Tempat penyimpanan”. Wiyasa mengajarkan kisah itu pertama kali kepada Resi Suka, putranya. Kemudian , ia menguraikan pada murid yang lain. Jika tidak demikian, mungkin kisah itu tidak mungkin akan sampai ke generasi di masa depan.
Tradisi mengatakan, narada mengisahkan kisah ini kepada para dewa, sementara Resi Suka mengajarkannya kepada gandarwa, raksasa, dan yaksa. Orang tahu bahwa Waisampayana yang saleh dan terpelajar, salah satu murid utama Wiyasa, mengisahkan epos ini untuk kebaikan umat manusia. Janamejaya, putra maharaja Parikesit, melakukan upacara pengorbanan besar sementara Waisampayana mengisahkan Mahabharata atas permintaannya. Kemudian, seperti yang di katakannya Waisampayana, kisah ini di daraskan di hutan Naimisa di hadapan para resi yang dipimpin oleh Resi Saunaka.
Suta memberikan salam pada resi itu, “Aku beruntung mendapatkan kesempatan mendengarkan kisah Mahabharata yang disusun Wiyasa untuk mengajarkan dharma dan tujuan-tujuan hidup yang lain kepada umat manusia. Aku ingin mengajarkan kisah ini kepada kalian. ” Mendengar perkataan itu, para petapa itu segera berkumpul mengelilingi Suta.
Suta Melanjutkan : “Aku mendengar kisah Mahabharata dan cerita-cerita episode yang ada didalamnya dari Waisampayana ketika Raja Janamejaya melakukan upacara pengorbanan. Setelah itu, aku melakukan peziarahan yang ke berbagai tempat Suci. Aku Juga mengunjungi medan perang tempat terjadinya perang besar itu. Sekarang, aku ke sini untuk menemui kalian semua” Kemudian , ia menceritakan keseluruhan kisah Mahabharata di depan sejumlah besar petapa itu.
Setelah kematian Maharaja Sentanu,Chitrangada menjadi raja Hastinapura. Kemudian ia di gantikan oleh Wicitrawirya. Wicitrawirya mempunyai dua anak – Destarata dan pandu. Karena putra tertua dari bersaudara itu terlahir buta, Pandu, putra kedua, naik tahta. Ketika berkuasa, Pandu melakukan suatu dosa dan harus mengasingkan diri ke hutan bersama dua istrinya. Ia menjalani hukuman selama bertahun-tahun.
Dalam masa pengasingan itu, kedua istri pandu, Dewi Kunti dan Dewi Madri, melahirkan lima putra, yang kemudian di kenal sebagai lima Pandawa. Dalam pengasingan itu, Pandu mati. Selama awal idup mereka, kelima Pandawa dibesarkan para resi.
Ketika Yudhistira, putra Tertua, berusia enam belas tahun, para resi membawa mereka kembali ke Hastinapura dan mempercayakan mereka kepada kakek mereka Bhisma.
Dalam waktu singkat kelima Pandawa dapat menguasai Kitab Weda, Wedanta, dan berbagai seni yang perlu di kuasai Kesatria. Para Kurawa, putra-putra Destarata yang buta, menjadi iri hati dan berusaha mencederai mereka dengan berbagai cara.
Akhirnya, Bhisma, sesepuh  keluarga, campur tangan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Dengan perjanjian itu, pandawa dan Kurawa mulai memisahkan pemerintahan. Pandawa memerintah Indraprasta dan Kurawa memerintah Hastinapura.
Beberapa lama kemudian, terjadilah permainan dadu antara Kurawa dan Pandawa sesuai tradisi kehormatan kesatria. Sengkuni, yang bermain atas nama Kurawa, mengalahkan Yudhistira. Akibatnya, Pandawa harus mengasingkan diri selama tiga belas tahun. Mereka meninggalkan kerajaan dan pergi ke hutan bersama dengan istri mereka yang setia, Drupadi.
Menurut perjanjian dalam permainan dadu itu, Pandawa harus menghabiskan dua belas tahun di hutan dan pada tahun ke tiga belas mereka harus mengembara tanpa di kenal orang. Ketika mereka kembali dan meminta Duryudana mengembalikan Kerajaan mereka, Duryudana menolak. Akibatnya, terjadilah perang. Pandawa mengalahkan Duryudana dan mendapatkan kembali kerajaan warisan keluarga mereka.
Kelima pandawa memerintah kerajaan selama tiga puluh tujuh tahun. Setelah itu, mereka menyerahkan singgasana pada cucu mereka, Parikesit. Kemudian, mereka mengundurkan diri kehutan bersama Drupadi. Mereka semua meninggalkan pakaian kebesaran dan hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu.
Demikianlah ringkasan kisah Mahabharata. Dalam epos kuno yang Luar biasa dari tanah India ini, kita dapat menemukan kisah-kisah yang ilustratif dan ajaran-ajaran luhur, disamping kisah perjalanan hidup kelima Pandawa. Kita dapat mengatakan bahwa Mahabharata merupakan samudra luas dan dalam yang berisi permata dan mutiara berharga yang tidak terhitung jumlahnya. Bersama dengan Ramayana, Mahabharata merupakan sumber etika dan kebudayaan India yang tidak ada habis-habisnya.

SUMPAH BHISMA

Bhisma
Dengan riang hati, raja menyambut dan membawa sang putra ke istana. Anak yang di kelilingi aura keagungan dan kemudaan ini di nobatkan menjadi putra mahkota.
Empat tahun berlalu. Suatu hari, raja berjalan-jalan di pinggir sungai Yamuna. Tiba-tiba udara menyebarkan keharuman yang luar biasa. Raja mencari sumber keharuman. Ternyata sumbernya berasal dari seorang gadis yang jelita, secantik bidadari kahyangan. Berkat kebaikan hati seorang resi, keharuman yang sedemikian luar biasa akan selalu menguar dari tubuh gadis itu dan sekarang seluruh hutan menjadi harum karena kehadiran gadis tersebut.
Sepeninggal Dewi Gangga, Raja Sentanu selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsu. Tetapi,  kecantikan gadis itu membuatnya hilang kendali dan terbawa gairah asmara yang meluap-luap. Raja Sentanu meminang gadis itu untuk menjadi permaisurinya.
Berkatalah gadis jelita itu : “Paduka raja, namaku Setyawati. Aku seorang penangkap ikan. Ayahku kepala nelayan di daerah ini. Silahkan Paduka membicarakan permintaanmu dengan ayah. Semoga dia menerima pinanganmu.” Suaranya seelok tubuhnya.
Ayah gadis itu memang cerdik.
Katanya : “Daulat Tuanku, memang sudah saatnya putri hamba menikah dengan seorang lelaki, seperti gadis-gadis lain. Paduka boleh meminangnya. Namun demikian, sebelumnya hamba mohon Paduka mau berjanji di hadapan hamba.”
Kata raja sentanu : “Apa pun syarat yang Anda ajukan akan aku pernuhi.”
Kepala nelayan itu memohon : “Jika anak hamba melahirkan anak laki-laki, paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota.”
Meskipun sedang di mabuk asmara pada Setyawati, Raja Sentanu tidak dapat menyanggupi persyaratan ayah Setyawati. Ia sadar syarat itu akan berarti menyingkirkan Dewabrata, putra Dewi Gangga yang seelok dewa, dari posisi putra mahkota. Harga yang terlalu memalukan untuk di tanggung. Oleh karena itu, ia kembali ke istana Hastinapura. Perasaannya campur aduk tidak karuan. Raja menyimpan rapat rahasianya. Ia simpan rapat kegelisahan hatinya ia banyak mengurung diri dan melamun.
Suatu hari, Dewabrata bertanya kepada ayahnya : “Ayahanda memiliki semua yang mungkin di inginkan orang. Tetapi, mengapa ayahanda tampak sedemikian murung, spertinya, ayahanda menyimpan rahasia yang menyesakkan hati”.
Prabu Sentanu menjawab : “Anakku, apa yang kau katakan benar. Ayahanda memang tersiksa perasaan gundah gulana, engkau adalah anakku satu-satunya dan engkau selalu sibuk dengan urusan keprajuritan. Hidup di dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan selalu saja ada perang. Jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi padamu, garis keturunan keluarga kita akan putus, punah. Tentu saja engkau sebanding dengan seratus anak, namun demikian para tetua cendikiawan mengatakan bahwa hidup di mayapada, dunia ini punya satu anak sama artinya tidak punya anak sama sekali. Sungguh sayang kelangsungan keluarga kita tergantung pada seorang saja. Sebenarnya ayahanda memikirkan garis keturunan keluarga kita, inilah yang menyebabkan ayah berduka.” Sang ayah berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi, ia merasa malu pada anaknya.
Dewabrata yakin pasti ada alasan rahasia yang mengganggu ketenangan hati ayahnya. Kemudian ia bertanya kepada sais kereta ayahnya, barulah ia tahu tentang pertemuan sang ayah dengan seorang gadis penangkap ikan di pinggiran sungai Yamuna. Kemudian ia pergi kepada kepala nelayan itu, dan meminangkan anak gadisnya demi sang ayah.
Kepala nelayan itu menerimanya dengan hormat, tetapi tetap bersikukuh dengan syaratnya : “Sebenarnya anak gadis hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda paduka. Oleh karena itu, bukankah wajar jika kelak anak lelakinya akan menggantikannya menjadi raja ? tapi paduka telah di nobatkan sebagai putra mahkota dan dengan demikian akan menggantikannya. Inilah masalahnya.”
Jawab dewabrata : “Baiklah, tolong ingat baik-baik kataku, anak lelaki yang dilahirkan anak gadismu akan di nobatkan menjadi raja. Aku rela tidak naik tahta demi keinginan ayahanda untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. ” dewabrata mulai mengucapkan sumpahnya.
Setelah itu, kepala nelayan itu berucap, “wahai putra mahkota yang paling bijaksana diantara semua keturunan brata, tuan telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh para pewaris tahta sampai saat ini. Tuan memang seorang pahlawan. Silahkan tuan membawa anak gadis hamba untuk di peristri ayahanda tuanku. Namun demikian, mohon tuanku terus mendengarkan dengan sabar kata-kata hamba ini, sebagi ayah anak gadisku. Hamba  yakin tuanku akan menepati janji. Tapi apa yang dapat hamba gunakan untuk menguatkan harapan bahwa keturunan tuanku tidak akan menuntut hak mereka ? keturunan tuanku pasti akan menjadi pahlawan-pahlawan besar, seperti tuanku. Pasti akan sulit untuk menolak jika mereka berusaha merebut kerajaan dengan paksa. Inilah permasalahan yang menggangu pikiran hamba.”
Mendengar pertanyaan sangat sulit yang diajukan ayah gadis pujaan ayahandanya, dewabrata yang memutuskan untuk meniggalkan keinginan duniawi demi ayahandanya, mangucapkan sumpah pamungkas. Ia bersumpah dihadapan ayah anak gadis itu : “Aku berjanji tidak akan kawin dan akan menjalani  kesucian sepanjang hidupku.” Ketika dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, para dewa menaburkan bunga-sunga semerbak diatas kepalanya dan terdengar suara-suara yang mengelu-elukan, “Bhisma…. Bhisma…… Bhisma…..” Sejak saat itu Dewabrata di kenal sebagai Bhisma.
Demikianlah, putra Batari Gangga memboyong Setyawati ke Hastinapura untuk ayahandanya.
Dari perkwawinan dengan Setyawati, raja Sentanu mendapatkan dua putra, Chitrangada dan Wicitrawirya, Wicitrawirya menjadi raja menggantikan saudaranya. Wicitrawirya mempunyai dua anak, Destarata dan Pandu, dari kedua permaisuri, Ambila dan Ambalika. Anak Destarata yang berjumlah seratus di kenal sebagai kurawa. Pandu mempunyai lima anak yang di kenal sebagai pandawa.
Bhisma menjalani kehidupan yang panjang ia di hormati sebagai sesepuh keluarga sampai perang besar di medan Kurusetra.
————————————————————————————————————————————————————–
Berikut adalah silsilah keluarga
silsilah Bhisma Kurawa dan Pandawa

Raja Yoga Tanpa Bhakti, Nonsense!



Yoga Mahabharata. Oleh : Ngarayana. Siapa yang tidak mengenal Yoga atau meditasi? Orang boleh mengatakan tidak mengenal Veda atau Hindu, tetapi sepertinya kepopuleran istilah Yoga sudah merasuki semua strata manusia modern. Dewasa ini Yoga dikenal dan diakui sangat efektif dalam menjaga vitalitas sehingga sangat banyak orang-orang non Hindu dari berbagai kalangan mempraktekkannya. Bahkan dewasa ini sering kali kita mendengar orang-orang membanggakan Yoga dan menyatakan dirinya sebagai pengikut ajaran Yoga, tetapi mengingkari sumber dari Yoga itu sendiri, yaitu Hindu.

Dalam masyarakat Indonesia, yoga sudah dikenal luas oleh berbagai kalangan. Kekawin Arjuna Wiwaha 11.1 menyebutkan kata Yoga dengan sangat jelas; “Sasi wimba heneng ghata mesi banu Ndanasing, suci nirmala mesi wulan Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin Ring angambeki YOGA kiteng sakala, Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air. Di dalam air yang suci jernih tampaklah bulan. Sebagai itulah Dikau (Tuhan) dalam tiap mahluk. Kepada orang yang melakukan YOGA Engkau menampakkan diri”. Jadi pada dasarnya semua aliran kepercayaan yang menjadikan Yoga atau Meditasi sebagai pegangan utamanya pada dasarnya adalah pengikut ajaran Veda.

Yoga tidak hanya dikenal sebagai solusi kesehatan fisik, tetapi juga dikenal sangat efektif dalam melatih mental dan kemampuan berpikir. Sebagaimana disampaikan oleh peneliti di UCLA yang menggunakan high-resolution magnetic resonance imaging (MRI) untuk men-scan jaringan otak praktisi Yoga, didapatkan bukti ilmiah akan keefektifan yoga dalam meningkatkan daya ingat, kontrol emosi dan segala hal yang berkaitan dengan kesehatan mental. Sebagaimana disampaikan dalam jurnal NeuroImage yang dapat dikunjungi secara online sebagaimana tertuang dalam link referensi dalam artikel ini dilaporkan bahwa beberapa area otak pada praktisi meditasi lebih besar dari pada orang yang tidak melakukan meditasi. Volume hippocampus dan area dalam orbito-frontal cortex, thalamus dan inferior temporal gyrus mengalami pembesaran yang cukup signifikan dimana semua area ini dikenal sebagai area saraf pengendali emosi. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa meditasi dapat mengurangi stres dan meningkatkan imunitas tubuh.


Ironisnya di saat ilmu pengetahuan modern mengakui keefektifan Yoga, segelintir pihak yang terkungkung dalam fanatik sempit malahan menjustish Yoga haram. NFC Malaysia mengatakan bahwa Yoga diharamkan bagi umat muslim, karena dikatakan Yoga adalah produk agama Hindu. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menggodok isu ini. Jawaban yang diberikan oleh salah satu pimpinan MUI, Maruf Amin, dengan entengnya mengatakan: “Melakukan Yoga, adalah hak manusia Indonesia, tapi tugas MUI adalah memberikan nasihat kepada masyarakat Indonesia, untuk melakukan hal yang benar.” Tentunya apa yang disampaikan oleh kedua lembaga agama ini tidak murni atas perhitungan sains dan filosofi semata, tetapi lebih dikarenakan motif politik dan ketakutan kehilangan pengikut sehingga mereka harus melakukan black campaign. Meskipun demikian, pastinya masyarakat tahu mana yang salah dan mana yang benar, sehingga praktek Yoga hampir tidak terpengaruh oleh fatwa tersebut.

Namun demikian, apakah lingkup Yoga hanya sebatas kesehatan sebagaimana yang dipraktekkan saat ini?

Bapak dari sistem Yoga adalah Maha Rsi Patanjali, sehingga sistem Yoga yang original dikenal dengan sebutan “Patanjali Raja Yoga”. Sistem Yoga yang dikembangkan oleh Rsi Patanjali juga pada dasarnya tidak lepas dari sistem filsafat Samkya, yaitu salah satu cabang filsafat Veda yang mengedepankan metode ilmiah dan disampaikan oleh avatara Tuhan sendiri, Maha Rsi Kapila (Bhagavata Purana 1.3.10).

Sayangnya jika kita telusuri apa yang disebut Yoga oleh orang-orang moden sangat jauh berbeda dari sistem Yoga aslinya. Saat ini orang-orang hanya fokus mempraktekkan tingkatan Raja Yoga yang ketiga dan yang keempat, yaitu Asana (sikap duduk) dan Pranayama (teknik pernapasan) dan semata-mata hanya untuk alasan kesehatan, umur panjang bahkan meningkatkan nafsu birahai semata. Walaupun secara material bermanfaat, namun mereka tidak memahami tujuan utama dari sistem Yoga itu sendiri.

Pada dasarnya Yoga berarti penghubungan atau pengaitan jiva individuil dengan Yang Maha Kuasa, dengan kata lain tujuan utama dari sistem Yoga adalah untuk menghubungkan diri kita yang rendah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan kesehatan dan hal-hal material lainnya. Dengan demikian syarat utama yang dimiliki oleh seorang calon praktisi Yoga adalah kepercayaan akan adanya Tuhan. Seorang yang atheis tidak bisa mengikuti sistem ini. Kalaupun dia mengikutinya, dia hanya akan mentok sampai pada tingkatan asana dan pranayama yang tujuannya hanya sebatas kesehatan fisik. Disamping itu, seorang praktisi Yoga juga harus memiliki dasar moral dan disiplin tinggi. Meskipun dikatakan bahwa selama kita ada dalam tubuh manusia, tidak perduli berapa umur kita, jenis kelamin dan kondisi fisik, namun tanpa dasar moral yang baik dipastikan seseorang tidak akan pernah bisa menapak sistem Yoga. Karena itulah dua tingkatan pertama Raja Yoga adalah Yama dan Nyama Bratha. Seseorang yang masih memelihara sifat kejam, suka mabuk dan kejahatan-kejahatannya otomatis akan gugur dengan sendirinya.

Kedelapan tingkatan Yoga dikenal dengan istilah Astangga Yoga. Kedelapan tingkatan tersebut adalah;

1. Yama atau pantangan
2. Nyama atau kebajikan pembantu
3. Asana atau sikap-sikap tubuh
4. Pranayama atau penguasaan nafas vital
5. Pratyahara atau penyaluran aktivitas mental
6. Dharana atau pemusatan pikiran
7. Dhyana atau meditasi
8. Samadi atau keadaan suprasadar transenden.

Tingkatan pertama, Yama adalah merupakan pantangan yang harus dilakukan tanpa kecuali. Gagal melakukan pantangan dasar ini maka seseorang tidak akan pernah bisa mencapai tingkatan berikutnya. Penjabaran kelima Yama Bratha (Panca Yama Bratha) ini diuraikan dengan jelas dalam Patanjali Yoga Sutra II.35 – 39. Yaitu :

1. Ahimsa atau tanpa kekerasan. Jangan melukai mahluk lain manapun dalam pikiran, perbuatan atau perkataan. (Patanjali Yoga Sutra II.35)
2. Satya atau kejujuran/kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, atau pantangan akan kecurangan, penipuan dan kepalsuan. (Patanjali Yoga Sutra II.36)
3. Astya atau pantang menginginkan segala sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Atau dengan kata lain pantang melakukan pencurian baik hanya dalam pikiran, perkataan apa lagi dalam perbuatan. (Patanjali Yoga Sutra II.37)
4. Brahmacarya atau berpantang kenikmatan seksual. (Patanjali Yoga Sutra II.38)
5. Aparigraha atau pantang akan kemewahan; seorang praktisi Yoga (Yogin) harus hidup sederhana. (Patanjali Yoga Sutra II.38)
Sedangkan Panca Niyama Bratha yang merupakan tahapan kedua dan sebagai penyokong dari pantangan dasar sebelumnya diuraikan dalam sutra II.40-45. Yaitu :

1. Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut (Patanjali Yoga Sutra II.40). Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan (1) saumanasya atau keriangan hati, (2) ekagrata atau pemusatan pikiran, (3) indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu, (4) atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sutra II.41).
2. Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental (Patanjali Yoga Sutra II.42).
3. Tapa atau pantangan. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sutra II.43).
4. Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-samprayogah, persatuan dengan apa yang dicita-citakannya (Patanjali Yoga Sutra II.44).
5. Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi (Patanjali Yoga Sutra II.45).
Kebalikan dari sepuluh kebaikan yang harus diwujudkan (Yama dan Niyama) disebut sebagai vitarka, yaitu kesalahan-kesalahan yang harus dengan teliti dijauhkan dan dihilangkan, yaitu:

1. Himsa atau kekerasan dan tidak sabar sebagai lawan ahimsa
2. Asatya atau kepalsuan sebagai lawan dari satya
3. Steya atau keserakahan sebagai lawan dari asteya
4. Vyabhicara atau kenikmatan seksual sebagai lawan dari brahmacarya
5. Parigraha atau kemewahan sebagai lawan dari aparigraha
6. Asauca atau kekotoran sebagai lawan dari sauca
7. Asantosa atau ketidakpuasan sebagai lawan dari santosa
8. Vilasa atau kemewahan sebagai lawan tapa
9. Pramada atau kealpaan sebagai lawan svadhyaya
10. Prakrti-pranidhana atau keterikatan pada prakrti sebagai lawan dari isvarapranidhana
Dengan menempuh jalan kebaikan bukan berarti seseorang dengan sendirinya dilindungi terhadap kesalahan yang bertentangan. “Jangan menyakiti orang lain” belum tentu berarti “perlakukan orang lain dengan baik”. Kita harus melakukan keduanya, tidak menyakiti orang lain dan sekaligus melakukan keramah-tamahan.

Asana atau sikap-sikap Yoga yang merupakan tingkatan ketiga dalam astangga Yoga memberikan pondasi awal bagai seorang praktisi untuk mendapatkan jenis asana yang cocok dengan kondisi badannya. Meskipun dalam Patanjali Yoga Sutra dijelaskan ratusan jenis-jenis asana, namun Rsi Patanjali tidak memaksakan untuk melakukan sikap-sikap yoga tertentu. Ia berpendapat bahwa sikap manapun untuk menguasai pikiran, yang tidak terlalu memaksa anggota badan dan yang dapat dipertahankan cukup lama oleh seorang praktisi adalah baik baginya (sukha asana). Jadi tidak semua sikap asana harus dikuasai dan dipraktekkan oleh praktisi. Adapun pelatihan terhadap asana-asana tersebut untuk tujuan memilih sikap yang paling tepat baginya dan sebagai pondasi dasar dalam menjaga kesehatan badan dan mental sehingga mensupport kemajuan dalam tingkatan-tingkatan selanjutnya.

Setelah menguasai asana, selanjutnya diikuti oleh tingkatan pranayama. Pranayama tidak semata-mata mengacu kepada nafas masuk dan keluar dan kaitannya dengan fenomena fisika-kimia, tetapi jauh lebih halus dari itu. Proses menarik, menahan dan mengeluarkan nafas hanyalah gambaran kasar dari prana. Chandogya VII.15.1 mengatakan; “Prana, sesungguhnya melebihi harapan. Sebagaimana sesungguhnya ruji dikencangkan pada pusat sebuah roda, demikianlah segala apa adalah terikat pada prana. Prana berjalan bersama pada prana. Prana memberikan prana. Memeberikan kehidupan pada mahluk yang hidup. Bapak seseorang adalah prana. Ibu seseorang adalah prana. Saudara wanita seseorang adalah prana, guru seseorang adalah prana, seorang Brahmana adalah prana”. Sehingga dikatakan bahwa dengan penguasaan pernafasan yang merupakan gambaran kasar dari Prana itu sendiri seseorang dapat mengendalikan pikiran yang bergejolak, hawa nafsu serta kelemahan badan. Bahkan dengan menguasai prana dengan baik, seorang praktisi dapat mengalami fenomena metafisis yang tidak dapat dijelaskan oleh fenomena fisika biasa.

Keempat sendi Yoga yang pertama, yaitu Yama, Nyama, Asana dan Pranayama adalah termasuk persiapan atau dengan kata lain baru “kulit” dari Yoga itu sendiri. Sedangkan keempat sendi berikutnya barulah merupakan arah menuju inti Yoga itu sendiri.

Maha Rsi Patanjali mengatakan bahwa tingkatan Yoga yang kelima, Pratyahara berkaitan dengan alat-alat indria yang secara ilmiah hanya ditujukan untuk menikmati hal-hal material. Seorang praktisi Yoga harus bisa mengendalikan semua indria-indrianya ini. Mata sebagai indra penglihatan digunakan untuk menikmati hal-hal yang spiritual, telinga untuk mendengar diarahkan untuk mendengar nama-nama suci dan segala hal yang berkaitan dengan spiritual, demikian juga dengan indra-indra yang lainnya, semuanya ditarik dari kenikmatan duniawi dan diarahkan kepada kenikmatan rohani. Berkaitan dengan ini, Patanjali Yoga Sutra II.54-55 menyebutkan; “sva-viæayâsamprayoge cittasya svarûpânukâra ivendriyâñâm pratyâhârai. tataï paramâ vaåyatendriyâñâm, Pratyahara (atau penyaluran) terdiri dari pelepasan alat-alat indria dan sensualitas masing-masing, dan dari penyesuaian alat-alat indria pada bentuk citta atau pikiran yang murni. Dan dengan cara demikian orang dapat memperoleh penguasaan penuh atas alat-alat indrianya”. Tingkatan Pratyaksa ini hanya dapat dicapai jika keempat sendi Yoga sebelumnya telah dikuasai dengan baik (Katha Upanisad III.13).

Dharana atau pemusatan pikiran adalah tingkatan Yoga yang keenam. Dalam Patanjali Yoga Sutra III.1 disebutkan “deåa-bandhaå cittasya dhâraña, menetapkan citta atau pikiran pada suatu tempat disebut dharana”. Dharana dapat diibaratkan sebagai proses “mengetuk pintu” menuju Samadhi sehingga praktisi yang telah menguasai dharana dengan sempurna akan dengan sendirinya terarahkan menuju pada samadhi. Patanjali menganjurkan agar pemusatan pikiran harus hanya ditujukan pada satu objek kontemplasi, tat-pratiæedhârtham eka-tattvâbhyâsai (Patanjali Yoga Sutra I.32). Sehingga dalam proses dharana seorang praktisi dapat bermeditasi dengan memusatkan diri pada ujung hidung, pada berkas cahaya, aksara suci OM atau hal-hal lain yang dibenarkan.

puruæârtha-åûnyânâä guñânâm pratiprasavaï kâivalyaä svarûpa-pratiæøhâ vâ citi-åakter iti, peleburan nilai-nilai dalam sumbernya, bilamana tiadalah apapun lagi yang perlu dicapai, adalah pembebasan atau pemantapan kesadaran diri asli dalam bentuknya sendiri yang sejati". Kini kita akan membahas tentang dhyana, yaitu peresapan atau penyelaman yang diperpanjang (Patanjali Yoga Sutra IV.34). Penyelaman yang dimaksud dalam dhyana ini adalah penyelaman terhadap sang diri, Jiva dan diri yang Agung, Tuhan. Sankaracarya dalam kutipannya dari Yajnavalkya menyebutkan; “dhyanena-anisvaram guna, dengan dhyana dihilangkanlah segala apa yang ada diantara Jiva dengan Tuhan Yang Maha Esa”. Demikian juga dalam Samkhya Sutra disebutkan; “Dhyanam nirvisayam manah, dhyana adalah pembebasan citta dari segala ikatan”. Jadi pada tingkatan dhyana ini, seorang yogin sudah benar-benar dapat merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa dan sudah siap mencapai kondisi samadhi.

Diantara dhyana dan samadhi ada perbedaan mendasar (renungan dan keadaan supra sadar transenden). Dalam keadaan renungan (dhyana) pikiran seseorang merenungkan (dhyata), perbuatan renungan (dhyana) dan tujuan renungan (dhyaya) ketiganya masih dibedakan, namun dalam keadaan samadhi, ketiganya melebur menjadi satu. Jika diasumsikan sebagai pelukis dan lukisannya, kondisi dhyana adalah kondisi dimana sang pelukis masih berbeda dari gagasan tentang melukis dan keduanya berbeda pula dengan lukisannya. Tetapi dalam kondisi samadhi, pelukis tersebut begitu tercebur dalam karyanya sehingga ia, gagasan dan karyanya lebur menjadi satu. Dalam keadaan samadhi, sang jiva berada begitu dekat dengan Tuhan dan merasakan kebahagiaan luar biasa. Sehingga setelah seseorang terbangun dari samadhi, pada dasarnya dia tidaklah sama dengan sebelumnya. Ia menjadi berubah karena begitu lama berdekatan dan berhubungan secara pribadi dengan Tuhan, ia mendapatkan tambahan kehangatan (waranugraha atau ananda dan vijnana). Pada tahap ini seseorang dapat dikatakan sebagai seorang Siddha dan memperoleh kesaktian-kesaktian mistis tertentu sebagaimana sudah pernah saya singgung dalam artikel sebelumnya tentang kesaktian Yoga.

Namun tentunya tujuan terakhir dari Astangga Raja Yoga bukan semata-mata mendapatkan siddhi (kesaktian) dan mencapai samadhi dalam arti sempit, berdekatan dengan Tuhan hanya pada waktu meditasi dan setelah itu kembali lagi ke kehidupan material. Tujuan tertingginya sudah barang tentu mencapai kedudukan sat cit ananda yang kekal bersama Tuhan. Masalahnya, bagaimana seorang Yogin bisa mencapai tujuan tertinggi tersebut?

Patanjali Yoga Sutra I.23 menyebutkan; “îåvara-prañidhânâd va, Penyerahan diri (disebut juga bhakti) adalah jalan menuju kesadaran transendental”. Hal yang serupa juga ditegaskan dalam Patanjali Yoga Sutra II.1, II.32 dan juga II.45. Dalam Bhagavad Gita 2.50-51 dikatakan; “buddhi-yukto jahātīha ubhe sukṛta-duṣkṛte tasmād yogāya yujyasva yogaḥ karmasu kauśalam. karma-jaḿ buddhi-yuktā hi phalaḿ tyaktvā manīṣiṇaḥ janma-bandha-vinirmuktāḥ padaḿ gacchanty anāmayam, Orang yang menekuni bhakti membebaskan dirinya dari perbuatan yang baik dan buruk bahkan dalam kehidupan ini pun. Karena itu, berusahalah untuk yoga, ilmu segala pekerjaan. Dengan menekuni bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti itu, resi-resi yang mulia dan penyembah-penyembah membebaskan diri dari hasil pekerjaan di dunia material. Dengan cara demikian mereka dibebaskan dari perputaran kelahiran dan kematian dan mencapai keadaan di luar segala kesengsaraan (dengan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa). Bhagavad Gita 5.6 juga memberikan penegasan yang lebih eksplisit dengan mengatakan; “sannyāsas tu mahā-bāho duḥkham āptum ayogataḥ yoga-yukto munir brahma na cireṇādhigacchati, Kalau seseorang hanya melepaskan segala kegiatan namun tidak menekuni bhakti kepada Tuhan, itu tidak dapat membahagiakan dirinya. Tetapi orang yang banyak berpikir yang menekuni bhakti dapat mencapai kepada Yang Mahakuasa dengan segera, wahai yang berlengan perkasa. Kesemurnaan Yoga hanya dapat diperoleh oleh Yogin yang memusatkan dan menyerahkan dirinya pada Tuhan, praśānta-manasaḿ hy enaḿ (Bhagavad Gita 6.27). Dan masih banyak lagi sloka-sloka Bhagavad gita yang menyatakan dengan jelas bahwa Bhakti adalah puncak dari segala jalan. Setidaknya terdapat sekitar 62 sloka dalam Bhagavad Gita yang menekankan aspek bhakti ini.

Bagaimana jika seorang yogin tidak menyerahkan dirinya (bhakti) pada Tuhan Yang Maha Esa?

Selama seorang Yogin tidak menyerahkan diri dalam cinta Bhakti kepada Tuhan, maka selama itu pula dia tidak akan mencapai moksa, sat cit ananda. Dia hanya akan berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian di alam material ini. Bhagavad Gita 8. 25 mengatakan; “dhūmo rātris tathā kṛṣṇaḥ ṣaṇ-māsā dakṣiṇāyanam tatra cāndramasaḿ jyotir yogī prāpya nivartate, Seorang yogi (ahli kebatinan) yang meninggal dunia selama masa asap, malam hari, selama dua minggu menjelang bulan mati, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju selatan akan mencapai planet bulan, tetapi dia akan kembali lagi. “prāpya puṇya-kṛtāḿ lokān uṣitvā śāśvatīḥ samāḥ śucīnāḿ śrīmatāḿ gehe yoga-bhraṣṭo ‘bhijāyate, Sesudah seorang yogi yang tidak mencapai sukses menikmati selama bertahun-tahun di planet-planet makhluk yang saleh, ia dilahirkan dalam keluarga orang saleh atau dalam keluarga bangsawan yang kaya” (Bhagavad Gita 6.41). “atha vā yoginām eva kule bhavati dhīmatām etad dhi durlabhataraḿ loke janma yad īdṛśam, Atau (kalau dia belum mencapai sukses sesudah lama berlatih yoga) dia dilahirkan dalam keluarga rohaniwan yang pasti memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Memang, jarang sekali seseorang dilahirkan dalam keadaan seperti itu di dunia ini” (Bhagavad Gita 6.42).

Hanya yogi, orang yang mempunyai keyakinan yang kuat dan selalu tinggal di dalam kesadaran terhadap Tuhan, yang selalu berpikir tentang Tuhan di dalam dirinya, dan mengabdikan diri kepada Tuhan dalam cinta bhakti rohani mencapai kesempurnaan Yoga, dan Yogi seperti itulah yang menurut Krishna, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang paling tinggi diantara semuanya (Bhagavad Gita 6.47).

Jadi melakukan Yoga atau Meditasi tanpa ada rasa penyerahan diri dalam Bhakti kepada Tuhan adalah nonsense.

Sumber:
a. Swami Satya Prakas Saraswati, Patanjali Raja Yoga, Paramita Surabaya. 1996
b. Chip Hartranft, The Yoga-Sûtra of Patañjali Sanskrit-English Translation & Glossary, 2003
c. http://newsroom.ucla.edu/portal/ucla/how-to-build-a-bigger-brain-91273.aspx
d. http://clubbing.kapanlagi.com/showthread.php?t=32027

MAHABHARATA - Ringkasan dari delapan belas buku (parwa)

Ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata
Seperti telah disebutkan di atas, epos Mahabharata mengalami tambahan-tambahan dari berbagai pengarangpenyair dari masa ke masa. Namun demikian, inti pokok uraiannya tidak perlu diragukan merupakan basis kenyataan-kenyataan dalam tradisi Hindu di jaman dahulu .

Epos Mahabharata dalam bentuknya yang sekarang, jika dibaca secara keseluruhan, mengandung berbagai dongeng, legenda (purana), mitos, falsafah, sejarah (itihasa), kosmologi, geografi, geneologi, dan sebagainya. Karena banyaknya tambahan di sana-sini, maka epos Mahabharata ini juga dipandang sebagai puisi berisi ajaran kebajikan yang ditulis dalam metrum India (kavya), sebagai sloka yang berisi ajaran budi pekerti (sastra), atau sebagai kitab yang berisi sejarah, ilmu pengetahuan dan ajaran lain (sruti). Ringkasnya, Mahabharata juga bisa dianggap sebagai semacam ensiklopedia .

Dalam bentuknya yang kita kenal sekarang, epos Mahabharata adalah naskah yang lebih besar dibandingkan kitab-kitab suci Weda. Menurut Prof. Heinrich Zimmer, isi Mahabharata delapan kali lebih besar daripada Odyssey and Illiad.

Berbagai manuskrip tersebar dari Timur Tengah sampai Indonesia (Bali) dalam berbagai macam bahasa, antara lain: bahasa Nepali, Maithili, Bengali, Dewanagari, Telegu, Grantha dan Malayalam .

Naskah yang lebih muda kita dapati dalam bahasa Jawa Kuno (abad X), bahasa Kashmir (abad XI) dan bahasa Persia (di masa pemerintahan Akbar).

Epos Ramayana dan Mahabharata dengan ekspresi yang lain di Indonesia ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sebagai contoh, Ramayana dan Mahabharata secara ringkas telah disusun di Jawa Timur dalam bentuk yang disebut kakawin.

Beberapa kakawin yang dikenal luas adalah Ramayana, Bharatayudha, Arjunawiwaha atau Smaradahana.

Kakawin-kakawin tersebut sesungguhnya bukan salinan dari karya asalnya. Selanjutnya, secara verbal serta khas kakawin-kakawin tersebut divisualkan dalam bentuk drama/teater atau wayang yang pelaku-pelaku utamanya diambil dari epos Ramayana dan Mahabharata (misalnya Rama, Kaurawa dan Pandawa) dan dilengkapi dengan tokoh-tokoh sejarah dan kesusastraan tradisional, serta tokoh-tokoh lain yang diambil dari mitos daerah di Indonesia .

The Russian Academy di Moskow telah menerbitkan terjemahan Adiparwa atau buku pertama epos Mahabharata dalam bahasa Rusia di masa Perang Dunia II. Episode dan bagian-bagian tertentu epos Mahabharata juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Inggris dan Jerman .

Dalam Aswalayana Srautasutra disebutkan bahwa epos Mahabharata versi awal terdiri dari 24.000 sloka. Versi tersebut terus berkembang hingga dalam bentuknya yang sekarang terdiri dari 100.000 sloka.

Di bawah ini disajikan ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata:
  1. Adiparwa (Buku Pengantar): memuat asal-usul dan sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan Pandawa; kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu, yaitu Kaurawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Draupadi, putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.
  2. Sabhaparwa (Buku Persidangan): melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam permainan dadu, dan pembuangan Pandawa ke hutan.
  3. Wanaparwa (Buku Pengembaraan di Hutan): menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan di hutan Kamyaka. Buku ini buku terpanjang; antara lain memuat episode kisah Nala dan Damayanti dan pokokpokok cerita Ramayana .
  4. Wirataparwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan mereka.
  5. Udyogaparwa (Buku Usaha dan Persiapan): memuat usaha dan persiapan Kaurawa dan Pandawa untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
  6. Bhismaparwa (Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.
  7. Dronaparwa (Buku Mahasenapati Drona): menceritakan berbagai pertempuran, strategi dan taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Drona untuk melawan balatentara Pandawa.
  8. Karnaparwa (Buku Mahasenapati Karna): menceritakan peperangan di medan Kurukshetra ketika Karna menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai gugurnya Karna di tangan Arjuna.
  9. Salyaparwa (Buku Mahasenapati Salya): menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.
  10. Sauptikaparwa (Buku Penyerbuan di Waktu Malam): menggambarkan penyerbuan dan pembakaran perkemahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria Kaurawa.
  11. Striparwa (Buku Janda): menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra, berdukacita karena kematian suami-suami mereka di medan perang .
  12. Shantiparwa (Buku Kedamaian Jiwa): berisi ajaranajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan jiwa kepada kesatria itu dalam menghadapi kemusnahan bangsanya.
  13. Anusasanaparwa (Buku Ajaran): berisi lanjutan ajaran dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan berpulangnya Bhisma ke surgaloka.
  14. Aswamedhikaparwa (Buku Aswamedha): menggambarkan jalannya upacara Aswamedha dan bagaimana Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja.
  15. Asramaparwa (Buku Pertapaan): menampilkan kisah semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari dan Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang itu.
  16. Mausalaparwa (Buku Senjata Gada): menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.
  17. Mahaprashthanikaparwa (Buku Perjalanan Suci): menceritakan bagaimana Yudhistira meninggalkan takhta kerajaan dan menyerahkan singgasananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap Batara Indra.
  18. Swargarohanaparwa (Buku Naik ke Surga): menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dan Draupadi sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum ia memasuki surga.

Selain delapan belas parwa tersebut, sebuah suplemen yang disebut Hariwangsa ditambahkan kemudian. Suplemen ini memuat asal-usul kelahiran dan sejarah kehidupan Krishna secara panjang lebar. Tetapi berdasarkan penelitian, buku ini ternyata mengacu pada data yang masanya jauh sekali dari masa kehadiran parwa-parwa itu .

Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara dan citacita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini.

Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolaholah benar-benar dilakukan oleh manusia .

Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah dimainkannya dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahabharata memainkan peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.6

Dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai Weda yang kelima (pertama = Regweda, kedua = Samaweda, ketiga = Yayurweda, dan keempat = Atharwaweda), terutama karena memuat Bhagavadgita yang dipandang sebagai kitab suci oleh penganut agama Hindu. Ajaran-ajaran Bhisma kepada Pandawa yang termuat dalam Santiparwa dan Anusasanaparwa juga dianggap kitab suci.


Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra .

BERSAMBUNG

Kresna dan wejangannya



Kresna atau Krishna adalah seorang tokoh yang biasa digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Kitab Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam kitab Bhagawadgita).
Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata (Mahabharata/Bharatayuddha) akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.
1. Asal usul nama “Kresna”

Gambar 1: Ilustrasi Kresna dan Yasoda (ibu tirinya). Lukisan karya Raja Ravi Varma.
Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna atau Kresna berarti “hitam” atau “gelap”, dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita 5.30, dijabarkan bahwa Kresna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit. Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India, Kresna di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.
2. Nama lain dari Kresna
Kresna sebagai orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nama-nama dari kitab Mahabarata dan Bhagawadgita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah:
1.    Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal)
2.    Arisudana (penghancur musuh)
3.    Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa)
4.   Gopāla (Gopaala, Pengembala sapi)
5.    Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria)
6.    Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria)
7.    Janardana (juru selamat umat manusia)
8.    Kesava (Kesawa, yang berambut indah)
9.    Kesinishūdana (Kesini-sudana, pembunuh raksasa Kesin)
10.    Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi)
11.    Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu)
12.    Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
13.    Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniwan besar)
14.    Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik)
15.    Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni)
16.    Vāsudeva (Waasudewa, putera Basudewa)
17.    Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu)
18.    Yādava (Yaadawa, keturunan dinasti Yadu)
19.    Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)
3. Kehidupan Sang Kresna

Gambar 2: Ilustrasi Kresna sebagai pengembala, sedang memainkan bansuri (seruling).
Ikthisar kehidupan Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.
Kelahiran
Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3.228 SM.
Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir.
Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Masa kanak-kanak dan remaja
Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi (pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila. Dan kisah bagaimana dia menyelamatkan warga Vrindavana dari kemarahan dewa Indra (dewa hujan) dengan mengangkat bukit Gowardhana.

Gambar 3: Lukisan yang menggambarkan Kresna sedang mengangkat bukit Gowardhana. (Salah satu koleksi dari Institusi Smithsonian)
Kresna Sang Pangeran
Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bismaka dari Kerajaan Widarbha.
Bharatayuddha dan Bhagawadgita
Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa (Mahabharata/Bharatayuddha). Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Pada saat itulah lahir kata-kata bijak dari Kresna yang dicatat oleh Sanjaya, yang kemudian di kenal dengan Bhagawadgita. Dalam kitab ini terangkum semua wejangan dari Kresna yang diberikan kepada Arjuna sebelum pertempuran akbar itu dimulai.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut kitab Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.
Menurut referensi dari kitab Bhagawatapurana dan Bhagawadgita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM. Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwaraka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima.
Hubungan keluarga
Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Krishna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.
4. Kresna dalam pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil “Narayana”) dilahirkan sebagai putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Gambar 4: foto: Wujud Kresna yang diadaptasi oleh seni pewayangan Jawa.
Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.
Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.
Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.
5. Wejangan Sri Kresna dalam kitab Bhagawadgita
Sebagai tokoh yang luarbiasa, Kresna telah melahirkan kata-kata mutiara yang begitu luas dan dalam maknanya. Terutama ketika ia memberikan wejangan kepada Arjuna saat perang Mahabharata/Bharatayuddha terjadi. Semua wejangannya itu bahkan di catat oleh Sanjaya dan dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Bhagawadgita.
Berikut diberikan beberapa kutipan yang diambil dari kitab Bhagawadgita yang terjadi saat perang Mahabharata/Bharatayuddha. Semua kata-katanya membawa pesan-pesan kebaikan dan bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan. Adapun diantara kutipannya adalah sebagai berikut:
1. ”Yadā yadā hi dharmasya, glānir bhavati bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmanaṁ sṛjāmy aham”
Artinya: ” Kapan pun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu aku turun menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna)
2. ”Paritrāṇāya sādhūnāṁ, vināśāyā ca duṣkṛtām, dharma-saṁsthāpanārthāẏa, sambhavāmi yuge yuge”
Artinya: “Untuk menyelamatkan orang shaleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan kembali kebenaran, aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman
3. ”Purodhasāṁ ca mukhyaṁ māṁ viddhi pārtha bṛhaspatim, senāninām ahaṁ skandaḥ, sarasām asmi sāgaraḥ”
Artinya: “Wahai Arjuna, di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa aku adalah Brihaspati, pemimpinnya. Di antara para panglima, aku adalah Kartikeya, dan di antara segala sumber air, aku adalah lautan
4. ”Prahlādaś cāsmi daityānāṁ, kālaḥ kalayatām aham mṛgāṇāṁ ca mṛgendro ‘haṁ vainateyaś ca pakṣiṇām”
Artinya: “Di antara para Detya, aku adalah Prahlada, yang berbakti dengan setia. Di antara segala penakluk, aku adalah waktu. Di antara segala hewan, aku adalah singa, dan di antara para burung, Aku adalah Garuda.
5. ”Dyūtaṁ chalayatām asmi tejas tejasvinām aham jayo ‘smi vyavasāyo ‘smi sattvaṁ sattvavatām aham”
Artinya: “Di antara segala penipu, aku adalah penjudi. aku adalah kemulian dari segala sesuatu yang mulia. aku adalah kejayaan, aku adalah petualangan, dan aku adalah kekuatan orang yang kuat
6. ”Vṛṣṇīnāṁ vāsudevo ‘smi pāṇḍavānām dhanañjayaḥ, munīnām apy ahaṁ vyāsaḥ kavīnām uśanā kaviḥ”
Artinya: “Di antara keturunan Wresni, aku ini Kresna. Di antara Panca Pandawa, aku adalah Arjuna. Di antara para Resi, aku adalah Wyasa. Di antara para ahli pikir yang mulia, aku adalah Usana.
7. “Karmamy eva `dhikaras te, ma phalesu kadacana; ma karmaphalahetur bhur; ma te sango `stv akarmani”
Artinya: “Jalankan saja kewajibanmu, jangan mengharap hasil; jangan biarkan pahala menjadi motif tindakanmu; demikian pula jangan biarkan dirimu berdiam diri”
8. “Yada te mohakallim, budhir vyatitarisyati, tada gantasi nirvedam srotavyasya srutasya ca”
Artinya:  ”Ketika budimu melampaui kekeruhan ilusi, engkau akan sanggup bersikap seimbang pada apa yang kau dengar dan apa yang akan engkau dengar”
9. ”Krodhab bhavati sammohah. Sammohat smrtivibhirah. Smrtibihramsad buddhinaso. Buddhinasat pranasyati”
Artinya:  ”Dari amarah lahirlah kebingungan, dari kebingungan hilanglah ingatan. Dari hilang ingatan menghabcrukan budi. Dan kehancuran budi berujung pasa kemusnahan”
10. ”Na sti budhhir ayuktasya, na ca `yuktasya bhavana. Na ca bhavayatah santir, asantasya kutah sukham”
Artinya: ”Orang yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu tak memiliki budi, ia juga tak memiliki kemampuan berkonsentrasi. Tanpa konsentrasi tak ada kedamaian dan tanpa kedamaian bagaimana kebahagiaan bisa diperoleh?”
11. ”Indriyanam hi caratam, yam mano harati prajnam. Vayur navam iva mbhasi”
Artinya:  ”Ketika pikiran mengejar hawa nafsu, ketenangan jiwa akan hilang. Seperti angin yang membwa kapal di atas air”
12. ”Yas tv indriyani manasa, niyamsya `rabhate `rjuna. Karmendriyaih karmayogam asktah sa visisyate”
Artinya: ”Lakukan apa yang mesti engkau lakukan, karena bekerja lebih baik daripada tidak berkerja. Bahkan keberlangsungan hidup fisikmu tak akan bisa bertahan tanpa kerja”
13. “Yad-yad acarati srethas. Tad-tad eve `trao janah. Sa yat pramanam kurute lokas tad anuvartate”
Artinya: ”Apapun yang dilakukan orang besar akan diikuti masyarakatnya. Teladan apapun yang ia berikan akan ditiru seluruh dunia”
14. ”Svadharma api ca veksya, na vikampium arbasi. Dharmyad dhi yuddhac chreyo `nyat Ksatriyasya na vidyate”
Artinya: ”Setelah menyadari kewajibanmu sendiri, engkau tak boleh ragu. Tak ada yang lebih baik bagi seorang kesatria selain maju berperang demi menjalankan kewajiban”
15. ”Sadrsam cestate svayab. prakrter jnanavan api. Prakrtim yanti bhutani. Nigrahah kim karisyati”
Artinya: ”Orang bijak bertindak sesuai dengan sifat dasarnya. Semua makhluk hidup pun mengikuti sifat dasar mereka. Apa yang bisa diselesaikan dengan paksaan?”
16. ”Indriyasye `ndriyasya `rithe. Ragadvesau vyavasthitau. Tayor na salam agacchet, tau by asya paripanthinau”
Artinya: “Cinta dan kebencian pada suatu objek keinginan terletak pada objek keinginan itu sendiri. Janganlah menyerah pada keduanya, sebab keduanya adalah pernghalang belaka”
17. “Sreyan svadharmo vigunah, paradharmat svanusthitat. Svadharme nidhanam sreyah. Paradharmo bhayavahah”
Artinya:  ”Lebih baik menjalankan kewajiban sendiri meskipun tidak sempurna, daripada menjalankan kewajiban orang lain dengan sempurna. Lebih baik mati ketika menjalankan kewajiban sendiri, karena menjalankan kewajiban orang lain itu bahaya”
18. ”Kamakrodhaviyuktanam yatinam yatacetasam. Abhito brahmaniranam vartate viditatmanam”
Artinya:  ”Dia yang menguasai diri yang telah bebas dari hasrat keinginan dan amarah serta telah menguasai pikiran dan mencapai pengetahuan tentang Diri, beroleh kebahagiaan tertinggi dalam Tuhan”
19. ”Manusyanam sahasresu kascid yatat siddhaye. Yatatam api siddhanam kascid mam vetti tatvatah”
Artinya: ”Kecil kemungkinan dari antara seribu orang ada satu orang yang berjuang berusaha mencapai kesempurnaan, dan dari antara mereka yang berjuang dan berhasil, jarang sekali yang mengenal Tuhan secara benar”
20. ”Pravrttim ca vivrttim ca jana na vidur asurah. Na saucam na, `pi ca `caro, na satyam tesu, vidyate”
Artinya: ”Mereka yang bersifat jahat tidak tahu jalan tindakan atau jalan pengingkaran diri. Pada diri mereka, tidak ada kemurnian hati, kelakuan yang baik, ataupun kebenaran”
21. ”Asapasasatair baddhah, kamakrodhaparayanah”
Artinya: ”Terbelenggu beratus-ratus ikatan hasrat keinginan, menghanyutkan diri dalam arus pusaran nafsu dan amarah”
***
Begitulah sekilas tentang Sri Kresna. Semoga dengan tulisan tentang kisah hidup dan beberapa wejangannya ini, bisa membuat kita semakin menghargai peran hidup dan kehidupan. Menjadikan diri kita bersemangat dalam mengemban setiap amanah sebagai khalifah di muka Bumi. Amin.
Yogyakarta, 18 Oktober 2010
Mashudi Antoro (Oedi`)
Referensi:
* Kitab Bhagawadgita
* http://id.wikipedia.org/wiki/Kresna